Alasan Orang Lebih Memilih Golput daripada Memberikan Suara pada Pemilu di Indonesia

Sejarah dimulainya golongan putih (golput) berawal dari gerakan para mahasiswa dan pemuda yang memprotes pelaksanaan Pemilu 1971, yaitu Pemilu pertama di era Orde Baru. Sampai saat ini golput masih digunakan sebagai istilah politik di Indonesia, diberikan kepada orang atau kelompok yang tidak memberikan pilihan pada calon pemimpin yang dipilih melalui Pemilu. Baik Pemilu legislatif, presiden, atau pun kepala daerah. Pemerintah sangat tidak menyarankan penduduk mengikuti golongan ini karena akan menghambat sistem demokrasi di Indonesia. Walaupun begitu, beberapa orang atau kelompok tetap pada pilihannya untuk tidak berpartisipasi pada Pemilu di Indonesia dengan berbagai alasan dan latar belakang.

Saya sendiri mencoba untuk berempati kepada golongan putih ini walaupun saya sendiri termasuk Warga Negara Indonesia yang ikut berpartisipasi pada setiap Pemilu.

Alasan utama para golongan putih tetap pada pendiriannya adalah rasa kecewa terhadap calon terpilih sejak dimulainya pemilihan langsung anggota legislatif, presiden, dan kepala daerah. Mereka berusaha membujuk dan merayu masyarakat untuk memilihnya dengan imbalan dan janji-janji yang luar biasa dahsyat, sehingga beberapa orang pun terpancing untuk memilih calon tersebut. Namun, setelah duduk di kursi kepemimpinan kinerjanya tidak menunjukkan seorang pemimpin yang diharapkan.

Sangat ironi ketika orang yang dipilih memiliki rumah mewah, mobil mewah, dan penghasilan yang besar. Sementara orang yang memilih kehidupannya tidak kunjung membaik. Banyak "pencipta" pemimpin yang kehidupannya tidak pasti. Setiap hari selalu khawatir karena pemimpin yang dipilihnya tidak memikirkan kepastian hidupnya.

Sementara itu, yang terpilih sibuk mengurus yang katanya "program kerja", tetapi tidak pernah menunjukan hasil kerjanya sama sekali. Satu-satunya hasil kerja yang tampak adalah uang yang masuk ke rekening masing-masing. Selalu sibuk mengumpulkan sisa anggaran yang menurut laporan tepat sasaran walaupun sasarannya hanya fiktif belaka. Walaupun begitu, status laporannya selalu wajar tanpa pengecualian.

Giliran tiba Pemilu, mereka kembali menjadi pengemis suara. Mengemis kepada rakyat yang ditelantarkannya selama menduduki jabatan agar memilihnya lagi di Pemilu mendatang. Memberi harapan palsu untuk menarik simpati rakyat. Bahkan sampai rela mengeluarkan banyak biaya untuk berbagai macam keperluan kampanye. Menyewa billboard untuk memampang wajahnya besar-besar beserta logo partai dan sebuah nomor. Begitu terpilih, kembali lagi ke sikap semula. Lupa pada rakyat yang memilihnya. Lupa untuk menyelesaikan tugas sebenarnya.

Begitulah mungkin para golongan putih berpikir. Tidak ingin menjadi bagian dari sistem yang hanya menguntungkan beberapa orang saja. Tidak ingin menjadi "pencipta" pemimpin yang bermental pengemis, meminta belas kasihan suara, saat butuh memohon dan lupa begitu saja pada orang yang memberinya ketika sudah mendapatkan apa yang diinginkan.

Namun begitu, negara sangat menghimbau kepada rakyat agar tidak masuk pada golongan ini. Mengingat Indonesia menganut demokrasi. Kekuasaan ada di tangan rakyat. Rakyat yang tidak memiliki kekuatan untuk menuju hidup yang lebih baik karena terhambat sistem. Bahkan wakilnya pun sama sekali tidak menunjukan bahwa dia adalah perwakilan rakyat.

Itulah pendapat saya yang mencoba berempati dengan para golongan putih.

Oleh Opan
Dibuat 01/01/2018
Seorang guru matematika yang hobi menulis tiga bahasa, yaitu bahasa indonesia, matematika, dan php. Dari ketiganya terwujudlah website ini sebagai sarana berbagi pengetahuan yang dimiliki.

Demi menghargai hak kekayaan intelektual, mohon untuk tidak menyalin sebagian atau seluruh halaman web ini dengan cara apa pun untuk ditampilkan di halaman web lain atau diklaim sebagai karya milik Anda. Tindakan tersebut hanya akan merugikan diri Anda sendiri. Jika membutuhkan halaman ini dengan tujuan untuk digunakan sendiri, silakan unduh atau cetak secara langsung.